Seorang penulis editorial jarang menghadapi topik kejahatan besar atau sejarah yang signifikan melebihi serangan teroris pada WTC dan Pentagon.
Beberapa orang mungkin menanyakan apakah, entah itu sesuatu yang langka, peristiwa yang sangat penting, dan insiden mengerikan memerlukan pertimbangan khusus dari seorang penulis editorial, sensibilitas yang unik, kewajiban untuk menentukan ukuran kewaspadaan dalam menaksir peristiwa-peristiwa tersebut. Jawaban sederhananya, tidak.
Tugas yang diemban oleh seorang penulis editorial ialah menyaksikan kondisi kemanusiaan dan mengevaluasi sukacita dan penderitaannya, kesedihan dan komedi, kebijaksanaan dan kemarahan, kecemerlangan dan ketidakpahaman, inspirasi dan misteri, dan menginterpretasikan evaluasi itu seprihatin atau sesedih, semarah atau sepuitis hati dan keberanian menulis si penulis.
Yang terbaik, suara editorial menuturkan nilai-nilai dan cita-cita institusinya. Suara tersebut bergumul dengan kehidupan, mencoba mengukur, menjelaskan, dan memberikan pendapat mengenai makna hal tersebut. Konsekuensinya, suara tersebut tidak akan menunjukkan kebulatan suara, tidak juga seperti yang diharapkan, tidak di masyarakat yang pluralistis.
Dalam tragedi 9/11, penulis editorial di seluruh AS, dan dunia, menggambarkan, baik pengetahuan mereka, maupun emosi mereka untuk membangun kata-kata. Mereka bisa memberikan argumen dengan titik yang berbeda; beberapa mungkin didasarkan pada kedisiplinan logika, sedangkan yang lain mendesak pembaca dengan frase-frase yang tangkas dan membalikkan emosi; kesimpulan dan preskripsi mereka bisa amat bervariasi.
Mereka berjuang, dengan cahaya alasan yang memandu mereka, untuk menuangkan pikiran, hati, dan jiwa dengan jujur dalam menanggapi kebenaran yang tanpa kompromi.