batutah2


Sejarah memang tak selalu linier. Tergantung dari sisi mana menilainya dan siapa penulisnya. Akibatnya, tak jarang pemutarbalikan fakta terjadi. Salah satunya seperti apa yang dialami salah seorang ilmuwan dan penjelajah muslim abad pertengahan, Ibnu Bathuthah. Selama ini, sejarah mencatat tokoh penjelajah dunia adalah Colombus (1451-1506 M), yang juga dikenal sebagai penemu dunia baru atau Benua Amerika. Tapi, penilaian Colombus sebagai penjelajah utama dunia tampaknya perlu diselidiki ulang.

Pasalnya, jauh sebelum Colombus menjelajah dan akhirnya menemukan Benua Amerika, orang-orang Arab sudah dikenal sejak lama sebagai penjelajah dunia. Bahkan bisa dikata, merekalah pionir-pionir utama yang mengantarkan umat manusia mengenal satu sama lain. Salah satu tokoh penjelajah muslim yang namanya diukir dengan tinta emas itu tak lain adalah Ibnu Bathuthah. Bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah Al-Lawati Al-Tanji. Dia lahir di Tangiers, Maroko, Afrika Utara pada 24 Februari 1304 M. Dibesarkan dalam keluarga yang taat memelihara tradisi Islam, Ibnu Bathuthah giat mempelajari Fiqih dari para ahli yang sebagian besar menduduki jabatan Qadi (hakim). Selain tiu, dia juga mempelajari sastra dan sya’ir Arab.



Pada masa hidupnya, Bani Marrin tengah berkuasa di Maroko dan mengalami kejayaan. Sejarawan dari Mesir, Hussein Haekal, dalam bukunya Al-Tarikh Al- Islami (Sejarah Islam ) mengemukakan, sebenarnya bakat atau keinginan Ibnu Bathuthah untuk mengembara ke berbagai Negara telah ada sejak remaja. Dalam angannya, kata Haekal, Ibnu Bathuthah ingin sekali mempersembahkan sesuatu yang bermanfaat bagi umat manusia. Persembahan berharga itu kemudian jatuh pada obsesi lamanya, yakni mengunjungi negara-negara di dunia, lalu menuangkan hasil pengamatan melancongnya tesebut dalam sebuah buku.
Penguasaanya atas dunia pelayaran diperolehnya saat bersama-sama pasukan kerajaan beberapa kali memerangi Prancis yang mengancam. Kedua negeri ini, Maroko dan Prancis hanya dipisahkan lautan sehingga pertempuran laut sering terjadi antar keduanya. Pada akhirnya, Maroko memang pernah menjadi salah satu negara jajahan Prancis

Menurut sejarawan Barat, George Sarton, yang mengutip catatan Sir Henry yules, Ibnu Bathuthah telah mengelana sejauh 75.000 mil melalui daratan dan lautan. Jarak ini jauh lebih panjang dari yang dilakukan Marco Polo dan penjelajah mana pun sebelum datangnya zaman mesin uap. Ketika Marco Polo meninggal, Usia Ibnu Bathuthah baru 20 tahun. Ahli sejarah seperti Brckellman menyejajarkan namanya dengan Marco Polo, Hsien Tsieng, Drake, dan Magellan.

Seluruh cerita perjalanannya dia dikisahkan kembali dan ditulis oleh Ibnu Jauzi, juru tulis Sultan Maroko, abu Enan. Karya itu diberi judul Tuhfah Al Nuzzar fi Ghara’ib Al- amsar wa ajaib Al-Asfar ( Persembahan seorang Pengamat tentang kota-kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumakan). Karya ini menjadi perhatian berbagai kalangan di Eropa sejak diterjemahkan ke berbagai bahasa, seperti Prancis, Inggris, dan Jerman.

Kepergian pertama Ibnu Bathuthah adalah saat dia menunaikan ibadah haji pada usia kurang dari 21 tahun. Menurut catatan sejarah, kepergian itu tepat pada 14 Juni 1325 M. diseberanginya Tunisia dan hampirr seluruh perjalanannya ditempuh dengan berjalan kaki. Dia tiba di Alexandria pada 15 April 1326 dan mendapat bantuan dari Sultan Mesir berupa hadiah uang untuk bekal menuju Tanah Suci.

Di Provinsi pantai di Mesir bagian utara ini, Ibnu Bathuthah mempunyai kesan menarik. Menurutnya, Alexandria adalah sebuah pelabuhan yang berkembang dan merupakan pusat perdagangan serta pusat angkatan laut di daerah Laut Tengah (Mediterainia) bagian timur. Di Negeri Seribu Menara ini, dia diterima Sultan Mesir, dan memberinya sejumlah hadiah dan uang untuk bekal perjalanannya berikutnya. Perjalanan dia lanjutkan ke Mekkah melalui Gaza, Yerussalem, Hammah dan Aidhab, pelabuhan penting di Laut Merah dekat Aden.

Dia kembali ke Kairo dan melanjutkan ke Mekkah melalui Gaza, Yerussalem, Hammah, Aleppo, dan Damaskus, Syiria. Dia tiba di Mekkah pada Oktober 1926. Selama di Mekah ini Ibnu Bathuthah mengenal langsung negeri-negeri asal Jamaah haji. Dia batalkan kepulangannya dan dia pun memulai pengembaraan menjelajahi dunia.

Dia mulai menyebrangi gurun pasir Arabia menuju Irak dan Iran. Lalu, dia kembali ke Damaskus dan melanjutkan ke Mosul, India. Setelah itu, Kota Suci itu selama tiga tahun (1328-1330). Puas menetap di Mekah dia pun melanjutkan pengembaraan ke Aden dan berlayar ke Somalia, pantai-pantai Afrika termasuk Zeila dan Mambasa. Kembali ke Aden, lalu ke Oman, Hormuz di Teluk Persia dan Pulau Dahrain. Mampir sebentar ke Mekah pada 1332, Ibnu Baththah menyebrangi Laut Merah, menyusuri Nubia, Nil Hulu, Kairo, Syiria, dan tiba di Lhadhiqiya. Dia lalu menggunakan sebuah kapal Genoa, berlayar ke Alaya di pantai selatan Asia Kecil.

Usai melakukan perjalanan laut, pada 1333 Ibnu Bathuthah melanjutkan pengembaraannya lewat darat. Dia menjelajahi stepa-stepa di Rusia Selatan hingga sampai ke Istana Sultan Muhammad Uzbeg Khan yang ada di tepi Sungai Wolga. Penjelajahan ia teruskan hingga ke Siberia. Awalnya dia berniat menuju Kutub Utara, namun dia batalkan karena dinginnya cuaca daerah ”Tanah Gelap”, sebutan wilayah yang tak pernah ada sinar matahari tersebut.

Ibnu Bathuthah mengunjungi Kaisar Byzantium, Audronicas III dan mendapat perlakuan baik dari sang Kaisar. Dia pun mendapat hadiah kuda, pelana dan payung. Perjalanan darat pun dilanjutkan menuju Persia Utara hingga Afganistan dan beristirahat di Kabul. Pengembaraan berakhir sementara ketika Ibnu Bathuthah mencapai India dan bertemu dengan Sultan Delhi, Muhammad bin Tuqluq. Di kesultanan ini, Ibnu Bathuthah diangkat menjadi hakim oleh sang Sultan dan tinggal di negeri ini selama 8 tahun.

Namun, dalam perjalanannya menuju India harus dilewati dengan kekecewaan dan kesialan. Pasalnya, ketika menuju kawasan Cambay, dia diserang sekelompok penyamun di dekat Aligarh. Tak hanya itu, dia juga ditawan. Berkat permohonan seseorang. Ibnu Bathuthab selamat dari hukuman mati dan dia pun dilepaskan. Sebelum melanjutkan perjalanannya, Sultan Delhi meminta dirinya menghadap. Sang Sultan akhirnya memutuskan Ibnu Bathuthah menjadi duta besar kepada kekaisaran Cina.

Kunjungannya ke Kaisar Cina dicatat dengan kekagumannya atas kekuatan armada besar yang dibangun kekaisaran tersebut. Dia pun beruntung mendapat kesempatan menikmati perahu pesiar milik kaisar menuju Peking, Ibu Kota kakaisaran. Kembali dari Cina Ibnu Bathuthah mengunjungi India, Oman, Persia, Irak, dan Damaskus. Dia pun kembali ke Mekah menunaikan Ibadah haji untuk ke 4 kalinya pada 1348 M. Sekembalinya dari haji, dia menyusuri Yerussalem, Gaza, Kairo, dan Tunis. Dari Tunis, dengan menumpang perahu menuju Maroko lewat Dardinia dan tiba di Fez, Ibukota Maroko pada 8 November 1349 M. Sejak itu, dia menetap hingga akhir hayatnya pada 1377 M. Praktis hingga ajal menjemput dia berkelana dan mengunjungi berbagai negeri, baik Islam maupun non Islam selama 24 tahun.

MENGUNJUNGI SAMUDRA PASAI

“Negeri nan hijau dan subur”. Demikianlah penilaian Ibnu Bathuthah saat mengunjungi wilayah Samudera Pasai (kini Aceh). Tampaknya Ibnu Bathuthah tak ingin menyia-nyiakan informasi yang dia terima sebelumnya, bahwa di negeri kerajaan ini, rakyat dan alamnya amat indah dan menawan. Karena itulah, dalam rangkaian perjalanan menuju China yang dilakukan melalui laut, Ibnu Bathuthah menyempatkan diri mampir ke beberapa negeri di Asia Tenggara, termasuk kesultanan Samudra Pasai di Sumatra. Dalam catatannya, Ibnu Bathuthan menulis Samudera Pasai sebagai negeri yag menghijau dan kota pelabuhannya sebagai kota besar yang Indah. Dalam versi lainnya, dia menulis bahwa pulau Sumatra disebut sebagai “Pulau Jawa yang menghijau”

Kedatangannya disambut Amir (panglima) Daulasah, Qadi Syarif Amir Sayyir Al-Syirazi, Tajuddin Al-Asbahani, dan beberapa ahli fiqih atas perintah Sultn Mahmud malik Zahir (1326-1345). Dalam pandangan Ibnu Bathuthah, Sultan Mahmud merupakan penganut madzhab Syafi’I yang giat menyelenggarakan pengajian, pembahasan, muzakarah tentang berbagai hokum Islam. “Sultan sangat rendah hati dan berangkat ke Masjid untuk Shalat Jum’at dengan berjalan kaki. Selesai shalat, Sultan dan rombongan biasa berkeliling kota melihat rakyatnya,” tulisnya dalam laporan perjalanan.

Menurut Ibnu Bathuthah , saat itu Samudera Pasai merupakan pusat studi Islam. Penilaiannya ini tampaknya tak berlebihan mengingat sejarah berdirinya kerajaan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara. Pendiri kerajaan Samudera Pasai sendiri adalah Sultan Malikus Shaleh (W. 1297), yang sekaligus sebagai sultan (pemimipin) pertama negeri itu.

Selama 15 hari, Ibnu Bathuthah mengunjungi Samudera Pasai sebelum melanjutkan perjalanan ke China. Dia sempat mengunjungi pedalaman Sumatra yang masih dihuni masyarakat non Muslim. Di tempat ini Ibnu Bathuthah menemukan beberapa perilaku masyarakat yang mengerikan, bunuh diri massal yang dilakukan budak ketika pemimpinnya mati. Dia sempat kembali singgah di Samudra Pasai.

SOSOKNYA YANG BEGITU MENGAGUMKAN

Ibnu Bathuthah merupakan pengembara terbesar bangsa Arab yang terakhir. Terbukti ia telah berhasil menyaingi orang besar yang hidup sezaman dengannya, Marcopolo Al-Bandaqi. Pengembaraannya meliputi seluruh wilayah Islam. Dia telah menempuh lebih dari seratus tujuh puluh lima mil, yang dimulai dari Thanjah, tempat kelahirannya, pada saat berusia dua puluh delapan tahun, pada tahun 1326 M dan berakhir di Fez pada tahun 1353. Pengembaraannya meliputi kota-kota besar di Afrika Utara, Iskandariah, Dimyath, Kairo dari Aswan di Mesir, Palestina, Syam, Mekah, Madinah, Najaf, Basrah, Syiraz di Iran. Moshul, Diyarbakr, Kufah, Baghdad, Leddah, pantai timur Afrika. Yaman, Oman, Hormuz, dan Bahrain, Asia Kecil, Anak Benua Karam, Rusia Selatan, Bulgaria, Polandia, Istirkhan, Konsantinopel, Sarajevo, Bukhara, Afghanistan, Delhi, India tempat dia menjadi hakim di sana selama lima tahun, Maladewa, China, Ceylon, Bengali, Indonesia, kemudian Iran, Irak, dan kembali lagi ke Palestina, Mesir, Tunisia, Sardinia, Maroko, Andalusia, kemudian masuk lagi ke Afrika, Mali, kemudian Fez di mana di menghabiskan tahun-tahun terakhir kehidupannya di sana di bawah kekuasaan Sultan Abu Inan.

Pada hakikatnya, Ibnu Bathuthah bukanlah seorang ahli geografi atau Sastrawan. Dia orang biasa. Dia tidak memiliki hobi tertentu, sehingga kisah perjalanannya tidak merefleksikan pemikiran yang mendalam. Dalam buku itu banyak kita temukan kisah perjalanannya, dan gambaran keyakinannya terhadap hal-hal yang aneh, pencampur adukan antara berbagai peristiwa dan perhatiannya yang berlebihan terhadap kekeramatan para wali dan darwisy, dan sebagai kepercayaan para pengembara pada setiap zaman. Meskipun demikian, dia banyak menyaksikan berbagai peristiwa, sekaligus mengetahui bagaimana cara menggambarkan apa-apa yang dia lihat dengan penuh kejelian atau dengan cara yang sederhana. Itulah yang menjadikannya sebagai seorang ahli geografi dan pengembara yang unik dari kalangan bangsa Arab. Dia adalah seorang pengembara yng tujuannya hanya untuk mengembara. Dia injakkan kakinya di tanah yang sama sekali belum dia ketahui dengan perasaan yang tenang. Dia sangat senang berkenalan dengan wilayah dan bangsa yang baru. Dia adalah orang yang sangat bertolak belakang dengan umumnya para ahli geografi Bangsa Arab.

Dia tidak mengumpulkan bahan-bahan untuk tulisannya. Dia mengumpulkannya dari pengalaman yang dialaminya sendiri, dan dari perbincangannya dengan orang-orang yang dikenalinya dalam perjalanan. Perhatiannya terhadap letak geografis tidak lebih banyak dibandingkan dengan perhatiannyan terhadap manusia yang menghuni tanah yang dikunjunginya sehingga buku yang ia susun menjadi sebuah buku tentang masyarakat Islam dan Timur umumnya pada abad ke 14. Dia bagai almari yang menyimpan berbagai materi yang amat kaya, bukan hanya dalam bidang geografi historis atau sejarah pada zamannya, tetapi juga mencakup seluruh fenomena peradaban pada masa itu. Sesekali dia memaparkan seluruh fenomena sosial, yang kerap kali diabaikan oleh para ahli sejarah. Sehingga kita dapat menyaksikan berbagai upacara yang dilakukan oleh bangsa asing, berbagai mode pakaian, tradisi dan mata pencarian mereka, serta bermacam-macam makanan dan kue-kue mereka.
(Disadur dari buku Ensiklopedi Tokoh Islam;Hikmah ; Mizan)

its mind

its mind

Mengenai Saya

Foto Saya
To2 Blog
Rangkasbitung, Banten, Indonesia
Suyanto, Alumni Daar El Qolam tahun 1995 dan sekarang sebagai pengajar aktif di PP. La Tansa
Lihat profil lengkapku

Translate Blog

anda pengunjung ke ?

Number of Visitors Website counter

ayo gabung disini

buku tamu


ShoutMix chat widget

recent post



technorati

http://www.o-om.com